JADWAL IMSAKIYAH RAMADHAN 1432 H - 2011

Sabtu, 18 Desember 2010

Tujuan Syariah

Tidak diragukan lagi bahwa hidayah atau petunjuk bagi manusia adalah mengeluarkan mereka dari kezaliman kepada cahaya. petunjuk ini memiliki tujuan yang mulia yang terkandung dalam kitab-kitab samawi yang di dalamnya terdapat hukum dan peraturan. Begitu juga dengan Al-Qur’an melalui nabi Muhammad Saw diutus dan menjelaskan tentang kemaslahatan manusia.

Bila diteliti semua perintah dan larangan Allah Swt dalam Al-Qur’an begitu pula perintah dan larangan nabi Saw yang terumuskan dalam fiqih akan terlihat sewmuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya punya hikmah yang mendalam yaitu sebagai rahmat bagi semua manusia. Rahmat disini adalah kemaslahatan bagi manusia.

“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Qs.21:107)

Allah Swt tidak meninggalkan hamba-Nya begitu saja, akan tetapi Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya sebagai pemberi kabar dan pemberi peringatan dan menurunkan kepada mereka kitab-kitab untuk memberi petunjuk kepada manusia kepada kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Para ulama sepakat bahwa hukum Allah tegak ditujukan untuk kemaslahatan manusia.

Dari segi bahasa maqosid syariah berarti maksud dan tujuan disyariatkan hukum Islam, karena itu menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan illat ditetapkannya suatu hukum. Adapun menurut istilah syari’ah, maqosid syariah adalah kemaslahatan yang ditujukan kepada manusia baik di dunia maupun di akhirat dengan cara mengambil manfaat dan menolak mudharat.

Allah Swt menjadikan syariat untuk manusia memiliki tujuan hukum tertentu bukan dengan sia-sia, hal itu telah ditentukan dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an secara pasti. Sebagaimana firman-Nya:

“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (Qs. 44:38-39)

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (Qs.3:205)

Allah juga mengutus para rasul dan nabi dengan menurunkan syari’at-Nya untuk memberikan peraturan kepada manusia.

“Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Qs. 57:25)

Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.

Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.

Jadi, tujuan syariat mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh di nanti akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”. (Qs. 17:18)

“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik”. (Qs.17:19).

Ayat ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh akhirat harus diperolehnya di dunia dengan tuntutan tasyri’. Oleh karenanya orang yang beramal pantas mendapat balasan dari Allah baik di dunia maupun di akhirat.

Tujuan syar’i sebagaimana disebutkan di atas ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan hadits. Dalam memujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur itu dengan baik.

Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik dan buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan mendasar manusia. Tuntutan kebutuhan bagi manusia bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat itu adalah dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekumder) dan tahsiniyyat (tersier).

Yang dimaksud dengan daruriyyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang esensial dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dengan batas tidak terancam kelima eksistensi itu, kelima eksistensi ini disebut dharuriyyat al-khoms. Kebutuhan dalam kelompok hajiyyat tidak termasuk kebutuhan yang esensial melainkan kebutuhan yang menghindarkan manusia dalam hidupnya. Tidak terpelihara kelompok ini tidak mengancam eksistensi keloma pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukshoh dalam ibadah dalam ilmu fiqih. Sedangkan dalam kelompok tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Allah sesuai dengan kepatutan.

Mengetahui urutan peringkat mashlahat di atas menjadi penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika kemashlahatan yang satu berbenturan dengan kemashlahatan yang lain. Dalam hal ini tentu peringkat pertama, daruriyyat, harus didahulukan daripada peringkat kedua, hajiyyat, dan peringkat ketiga, tahsiniyyat. Ketentuan ini menunjukkan, bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga, mnakala kemashlahatan yang masuk peringkat pertama terancam eksistensinya.

Misalnya seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan untuk memelihara eksistensi jiwanya. Makanan yang dimaksud harus makanan halal. Manakala pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal, padahal ia akan mati kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut ia dibolehkan memakan makanan ynag diharamkan, demi menjaga eksistensi jiwanya. Makan, dalam hal ini termasuk menjaga jiwa dalam peringkat daruriyyat;hajiyyat. Jadi harus didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyathajiyyat. Begitu pula halnya manakala peringkat tahsiniyyathajiyyat, maka peringkat hajiyyat harus didahulukan daripada peringkat tahsiniyyat. Misalnya melaksanakan shalat berjama’ah termasuk peringkat hajiyyat, sedangkan persyaratan adanya imam yang shalih, tidak fasik, termasuk peringkat tahsiniyyat. Jika dalam satu kelompok umat Islam tidak terdapat imam yang memenuhi persyaratan tesebut, maka dibenarkan berimam pada Imam yang fasik, demi menjaga shalat berjama’ah yang bersifat hajiyyat. sedangkan makanan yang halal termasuk memelihara jiwa dalam peringkat daripada peringkat berbenturan dengan peringkat

Jadi, Allah Swt menetapkan hukum untuk manusia dengan tujuan untuk memperoleh kemaslahatan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat.

Hal lainnya adalah tolak ukur untuk menentukan baik dan buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan mendasar manusia.

Tuntutan kebutuhan bagi manusia bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat itu adalah dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier). Masuk di dalamnya apa yang disebut dengan ad-dhoruriyyat al-khoms atau al-kuliiyat khoms atau dikenal juga dengan maqosid syar’iyah yang lima yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Selanjutnya : Ijma' dan Qiyas Sumber Hukum Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar